Jumat, 09 September 2011

Baik Hati

Minggu, 04 September 2011, Luk 10:25-37
Hari Minggu Kitab Suci Nasional       

“Siapakah sesamaku manusia?”     
(Luk 10:29)

          Payah betul itu Yesus. Orang ditanya “Siapakah sesamaku manusia?” malah ganti nanya lagi. Apa sih susahnya jawab “Sesama manusia ya manusia toh…”
          Bukan segampang itu kawan jawabnya. Sebab banyak definisi tentang sesama yang berbeda satu sama lain. Lagian Yesus itu tidak hanya nuntut tahu doank definisi tentang sesama. Mau menjadi sesama bagi yang lain dengan peduli dan berbuat kasih adalah lebih penting. Lihat tuh konteksnya.

Melihat Konteks
(Luk 10:25-37)

25 Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” 26 Jawab Yesus kepadanya: “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?” 27 Jawab orang itu: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akan budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” 28 Kata Yesus kepadanya: “Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.”  29 Tetapi untuk membenarkan dirinya  orang itu berkata kepada Yesus: “Dan siapakah sesamaku manusia?”

          Konteks dari perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati adalah pembicaraan antara seorang ahli Taurat dengan Yesus soal hidup kekal. Ahli Taurat adalah seorang guru yang bertugas mengajarkan dan menjelaskan Taurat Musa. Di kalangan kaum Farisi ia juga bertugas mengajarkan dan menjelaskan tradisi lisan dari nenek moyang mereka yang menjabarkan secara rinci pelaksanaan hukum Taurat itu. Ia bertanya kepada Yesus: “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Hidup kekal adalah hidup bersama Allah dalam dunia yang akan datang dan melampaui hidup yang sekarang ini. Kehidupan kekal itu hanya dapat diperoleh jika manusia hidup seturut kehendak Allah.
          Pertanyaan ahli Taurat itu jelas untuk mencobai Yesus saja, sebab sebagai ahli Taurat tentu ia sudah tahu bahwa hukum Taurat mengajarkan jalan-jalan menuju hidup kekal. Cobaan itu untuk menguji apakah Yesus yang disebutnya guru itu paham akan masalahnya. Itu juga berarti kalau Yesus tidak dapat menjelaskan dengan baik, Ia bukan guru yang sejati. Ternyata Yesus tidak menjawabnya, tetapi malah balik bertanya: “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?” Memang setiap pagi dan sore orang-orang Yahudi mendaraskan Syema Israel, yaitu pengakuan iman bahwa TUHAN, Allah Israel, itu esa dan perintah untuk mengasihi-Nya (bdk. Ul 6:4-5).
          Yesus bertanya tentang apa yang diajarkan hukum Taurat untuk memperoleh hidup kekal. Kata “kekal” bukan merujuk pada periode waktu yang tidak akan berakhir, tetapi pada zaman terakhir. Oleh karena itu, hidup kekal berarti hidup di zaman yang akan datang. Sebab orang-orang Yahudi membagi seluruh periode waktu menjadi dua, yaitu zaman sekarang dan zaman yang akan datang. Maka, pertanyaan tentang cara untuk memperoleh hidup kekal sama artinya dengan cara memasuki Kerajaan Allah.
          Ahli Taurat itu menjawabnya dengan cepat dan tepat: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Ia menggabungkan perintah dalam Ul 6:5 (“Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu”) dan Im 19:18 (“Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”). Ia menambahkan “dengan segenap akal budimu”, sebab menurut alam pikir orang Ibrani, hati adalah tempat bernalar yang sama dengan akal budi. Namun dalam perkembangan selanjutnya hati juga dimengerti sebagai tempat afeksi (seperti iba hati), yang dulunya disangka bertempat di perut. Maka, penambahan “dengan segenap akal budimu” itu mau menjelaskan apa persisnya yang dimaksud “dengan segenap hatimu”.
          Mengasihi Allah dan sesama memang syarat fundamental menurut hukum Taurat untuk memperoleh hidup kekal. Kasih itu harus melibatkan jati diri manusia secara utuh atau keseluruhan aspeksnya, yaitu hati, jiwa, kekuatan dan akal budi. Dengan segenap hati artinya dengan dipikirkan secara sungguh-sungguh sampai pada alasan-alasannya yang paling mendasar. Dengan segenap jiwa artinya dengan integritas atau tanpa kepura-puraan luar-dalam atau tidak munafik. Dengan segenap kekuatan artinya dengan segala kemampuan yang dimiliki entah kekayaan, kedudukan, kepandaian, ketrampilan dan keutamaan. Sedangkan mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri artinya mengasihi orang lain sebagaimana layaknya kamu memperhatikan diri sendiri. Atau mengasihi orang lain sebagai pribadi yang dengan sendirinya berharga. Atau sesuai dengan konteksnya, mengasihi orang lain karena ia juga sama seperti kamu yang membutuhkan keselamatan dan ingin memperoleh hidup kekal.
          Ahli Taurat itu sebenarnya sudah tahu jawaban dari pertanyaannya, sebab ia bertanya memang hanya untuk mencobai Yesus. Ia mau tahu apakah Yesus, guru yang bukan jebolan dari sekolahnya itu, mampu berteologi. Dengan menggabungkan perintah mengasihi Allah dan sesama ia ingin menguji pandangan Yesus: Apakah mengasihi Allah saja belum cukup sehingga harus ditambahkan mengasihi sesama? Atau mengasihi Allah itu mengharuskan mengasihi sesama? Atau mengasihi Allah itu bisa dipraktekkan dengan mengasihi sesama?
          Mrk 12:29-34 mencatat jawaban Yesus ketika ditanya oleh seorang ahli Taurat tentang perintah yang utama:
29 Jawab Yesus: “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. 30 Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. 31 Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum itu.” 32 Lalu kata ahli Taurat itu kepada Yesus: “Tepat sekali, Guru, benar kata-Mu itu, bahwa Dia esa, dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia. 33 Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua kurban bakaran dan kurban sembelihan.” 34 Yesus melihat, bagaimana bijaksananya jawab orang itu, dan Ia berkata kepadanya: “Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!”
          Dari catatan Penginjil Markus, ahli Taurat itu membenarkan jawaban Yesus. Dalam hal mengasihi sesama ia menambahkan “mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua kurban bakaran dan kurban sembelihan”. Dengan demikian ia berpendapat bahwa mengasihi sesama dipandang lebih utama dari semua praktek yang langsung meluhurkan Allah, yaitu segala bentuk upacara kurban. Maka, Yesus memuji kebijaksanaan ahli Taurat itu: “Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!” Artinya, pemikiran ahli Taurat itu sangat dekat dengan Kerajaan Allah yang diajarkan oleh Yesus.
          Dalam pengajaran-Nya Yesus juga menekankan kesatuan antara kedua hukum kasih itu. Ia menegaskan bahwa mengasihi sesama adalah cara yang paling membantu orang untuk sungguh-sungguh mengasihi Allah. Dalam Mat 22:37-40 tercatat:
37 Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. 38 Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. 39 Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. 40 Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” 
          Mengasihi Allah adalah hukum yang terutama dan yang pertama. Mengasihi sesama adalah hukum yang kedua, tetapi Yesus juga menegaskan bahwa hukum yang kedua itu sama dengan hukum yang pertama. Dengan kata lain mengasihi sesama adalah cara yang paling membuat orang bisa sungguh-sungguh mengasihi Allah. Maka, dengan mengasihi sesama berarti orang telah menjalankan perintah-perintah dari Taurat dan kitab para nabi. Oleh karena itu, Yesus berkata kepada ahli Taurat: “Perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.” Memang demi memperoleh hidup kekal, tidak cukup sekedar mengetahui, tetapi harus melakukan apa yang hukum Taurat telah ajarkan, yaitu mengasihi sesama. Namun karena niatnya memang hanya mau mencobai Yesus, maka untuk membenarkan dirinya ahli Taurat itu mulai berkelit lagi: “Siapakah sesamaku manusia?”
          Sudah barang tentu bahwa sesama manusia ya manusia. Namun di kalangan orang Yahudi ada berbagai pendapat tentang sesama manusia. Pada umumnya hanya orang-orang sebangsanya saja yang dianggap sesama oleh orang-orang Yahudi. Tetapi karena sudah campur dengan ras lain, meskipun orang-orang itu masih sebangsa, yaitu orang-orang Samaria, mereka tidak lagi dianggap sebagai sesamanya. Bahkan orang-orang Farisi dan Esseni mempersempit lagi batasan sesama pada orang-orang yang sekelompoknya saja. Orang-orang Farisi memandang orang-orang Yahudi di luar kelompoknya bukan sebagai sesama, tetapi orang kebanyakan (‘am ha-ares). Kaum Esseni yang membentuk komunitas Qumran di pinggiran Laut Mati menganggap orang-orang di luar komunitasnya bukan sebagai sesama, tetapi “anak-anak kegelapan”. Orang-orang Yahudi yang digolongkan dalam kelompok kaum pendosa, seperti para pemungut cukai, pelacur dan penderita kusta, juga tidak dianggap sebagai sesama. Lebih sempit lagi ukuran sesama atau bukan sesama pun didasarkan pada kawan atau lawan.
          Mengatakan sesama manusia ya manusia pun tidak tanpa masalah. Sebab kalau Yesus mengatakan bahwa orang-orang Romawi itu sesama, maka orang-orang Yahudi akan menganggap-Nya sebagai antek atau pendukung penjajahan Romawi. Sebaliknya, mengatakan bahwa orang-orang Romawi bukan sesama, maka orang-orang Yahudi akan menuduh-Nya sebagai anti pemerintahan Romawi. Jadi, mengatakan bahwa orang-orang Romawi itu sesama atau bukan, sama-sama mendatangkan resiko. Oleh karena itu, Yesus tidak mau terjebak oleh rumitnya persoalan tentang sesama, sehingga menjawabnya lewat sebuah perumpamaan.


Manusia Menderita
(Seorang Yahudi)
30 Jawab Yesus: “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati.
Manusia Tidak Peduli Sesama
(Seorang Imam dan Lewi bangsa Yahudi)
31 Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan.
32 Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan.
Manusia Peduli Sesama
(Orang Samaria)
33 Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. 34 Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. 35 Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari pada ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.
Sesama Manusia
(Orang yang telah menunjukkan belas kasihan)
36 Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” 37 Jawab orang itu: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”


          Yesus tidak menanggapi langsung pertanyaan ahli Taurat, tetapi memaparkan sebuah perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati: “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati.” Jalan dari Yerusalem ke Yerikho memang menurun, karena kota Yerusalem berketinggian 2.700 kaki di atas permukaan laut dan kota Yerikho 820 kaki di bawah pemukaan laut. Jalan yang menurun itu melintasi bukit-bukit padang gurun Yudea dan berjarak sekitar 29 km. Jalan yang berkelok-kelok dan sepi itu sangat nyaman bagi para perampok untuk beraksi. Sejarahwan Yahudi, Flavius Yosefus, mencatat kebiasaan orang-orang Esseni yang membawa beberapa pengawal jika mengadakan perjalanan lewat daerah itu. Maka, tidak mengherankan kalau di jalan itu ada seorang yang jatuh ke tangan para penyamun dan dirampok sampai habis-habisan. Mereka juga melucuti pakaiannya, memukuli dan meninggalkannya dalam keadaan pingsan dan setengah mati, bahkan sampai tidak berdaya dan sudah seperti mayat.
          Syukurlah lewat seorang imam di jalan itu. Namun ketika melihat korban perampokan yang tergeletak di pinggir jalan itu, ia menjauhinya dan melintas ke seberang jalan melewatinya. Demikian halnya dilakukan oleh seorang Lewi yang turun dari Yerusalem. Baik seorang Lewi maupun imam itu sebenarnya berasal dari satu suku, yaitu suku Lewi yang berkedudukan elit di antara suku-suku Israel lainnya. Namun imam itu mendapat jabatan imamatnya secara otomatis karena keturunan Harun, imam pertama bagi bangsa Israel. Sedangkan seorang Lewi itu bukan imam, tetapi salah satu warga dari suku Lewi yang juga bertugas untuk melayani ibadat di Bait Allah Yerusalem. Oleh karena itu, kemungkinan besar seorang imam dan seorang Lewi itu baru pulang dari Yerusalem menjalankan tugasnya melayani ibadat dan mempersembahkan kurban di Bait Allah. Memang banyak kaum Lewi dan imam-imam yang bertempat tinggal di Yerikho dan tugas pelayanan mereka di Bait Allah Yerusalem.
          Berkaitan dengan upacara kurban yang kudus di Bait Allah, para imam atau kaum Lewi harus selalu dalam keadaan tahir. Mereka harus menjauhkan diri dari kontak dengan hal-hal yang najis, seperti mayat dan kuburan. Dalam Bil 19:16 tertulis: “Setiap orang yang di padang, yang kena kepada seorang yang mati terbunuh oleh pedang, atau kepada mayat, atau kepada tulang-tulang seorang manusia, atau kepada kubur, orang itu najis tujuh hari lamanya.” Yeh 44:25-27 juga memaparkan larangan untuk melihat orang mati kecuali dari kalangan keluarganya sendiri: “Mereka tidak boleh melihat orang mati oleh karena dengan demikian mereka menjadi najis. Hanya dengan mayat bapaknya atau ibunya, anaknya lelaki atau perempuan, kakak adiknya lelaki, kakak adiknya perempuan yang belum kawin, mereka boleh menajiskan dirinya. Sesudah pentahirannya ia harus menghitung tujuh hari, dan pada hari ia masuk lagi ke tempat kudus, ke pelataran dalam, untuk menyelenggarakan kebaktian di tempat kudus, ia harus mempersembahkan kurban penghapus dosanya.” Im 21:1-4,11 secara khusus mengalamatkan larangan penajisan diri dengan mayat itu kepada para imam.
          Nah, bisa jadi seorang imam dan Lewi itu melihat bahwa korban perampokan itu tergeletak dan sudah tidak berdaya seperti mayat. Maka, demi menjaga ketahiran dirinya, mereka sengaja menjauh dan lewat seberang jalan meninggalkannya. Pada hal seorang imam dan Lewi itu punya kewajiban untuk menyelamatkan hidup seseorang. Seandainya mereka pun menyentuh mayat dan najis, toh kenajisan itu hanya tujuh hari dan mereka bisa mentahirkan diri: “Orang yang kena kepada mayat, ia najis tujuh hari lamanya. Ia harus menghapus dosa dari dirinya dengan air pada hari yang ketiga, dan pada hari yang ketujuh tahir…” (Bil 19:11-13). Namun nampaknya mereka tidak mau merepotkan diri dengan urusan pentahiran, sehingga mereka tinggalkan begitu saja orang yang ternyata belum jadi mayat, tetapi sedang sekarat saja dan membutuhkan pertolongan segera. Maka, sebenarnya masalahnya bukan soal lebih memprioritaskan aturan pentahiran, tetapi soal tidak adanya rasa peduli dan belas kasihan terhadap korban perampokan itu. Persoalan itu menjadi terang benderang bila dibandingkan dengan sikap orang Samaria yang baik hati.
           Orang-orang Samaria dipandang sebagai musuh oleh orang-orang Yahudi. Singkat ceritanya begini! Bangsa Israel pecah menjadi dua, yaitu Kerajaan Utara dengan nama Israel beribukota di Samaria dan Kerajaan Selatan dengan nama Yehuda beribukota di Yerusalem. Kerajaan Utara ditaklukkan dan dijajah oleh bangsa Asyur. Sebagian penduduknya dibuang ke Asyur dan sejak tahun 722 SM wilayah kota Samaria dan sekitarnya dihuni oleh sisa-sisa Israel yang bercampur dengan bangsa-bangsa asing yang dibuang ke situ (bdk. 2 Raj 17:6,24). Orang-orang campuran dan keturunan mereka itulah yang di kemudian hari disebut orang-orang Samaria. Jadi, orang-orang Samaria adalah orang-orang Israel yang telah bercampur dengan bangsa-bangsa asing, sehingga ras Israel mereka tidak murni lagi.
          Kerajaan Selatan ditaklukkan dan dijajah oleh bangsa Babel. Hampir seluruh penduduk Yerusalem dibuang ke Babel dan mereka ditempatkan pada satu daerah tertentu. Alhasil, ras Israel mereka masih terpelihara hingga dipulangkannya mereka ke Yerusalem oleh bangsa Persia yang menaklukkan Babel setelah tujuh puluh tahun mereka berada di pembuangan. Orang-orang Yehuda yang dipulangkan dan keturunan mereka yang masih beras murni Israel itulah di kemudian hari disebut orang-orang Yahudi. Saat mereka membangun kembali kota Yerusalem, orang-orang Samaria mengganggu proses pembangunan itu dan terjadilah konflik rasial (ras murni dan tidak murni Israel). Konflik semakin tajam dan permusuhan pun terjadi ketika pada abad ke-3 SM orang-orang Samaria membangun tempat ibadat tersendiri di gunung Gerizim yang di abad berikutnya dihancurkan oleh raja dan imam agung Yahudi Yohanes Hirkanus. Orang-orang Samaria pun memakai kelima buku Taurat, tetapi dalam versi mereka sendiri. Akibatnya orang-orang Yahudi memandang mereka najis, kafir dan otomatis memusuhi mereka.

Orang-orang Samaria bermusuhan dengan orang-orang Yahudi, namun seorang Samaria dalam perumpamaan itu justru tergerak hatinya memberi bantuan bagi korban perampokan itu. Ia memandang orang yang tergeletak tidak berdaya itu sebagai sesamanya manusia, sehingga terketuklah rasa kemanusiaannya untuk membantu: “Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur.” Campuran minyak dan anggur memang dapat dijadikan obat untuk mengurangi rasa sakit, pembersih luka-luka dan penangkal infeksi. Cara pengobatan demikian sudah menjadi kebiasaan lama bagi orang-orang Yahudi maupun Yunani. Namun dengan tindakan itu mau dilukiskan betapa kontrasnya kebaikan orang Samaria itu dibandingkan dengan imam dan Lewi yang seharusnya menolong korban perampokan itu. Sebab minyak dan anggur selalu ada di antara mereka sebagai salah satu bagian dari kurban di Bait Allah (bdk. Im 23:13).
          Kebaikan orang Samaria itu memang tidak tanggung-tanggung. Setelah membalut luka-luka dan mengobatinya, “kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya.” Artinya, ia harus berjalan kaki sambil menuntun keledainya ke rumah penginapan. Di sana ia masih merawatnya sampai saat ia harus pergi meninggalkannya untuk urusan pribadinya. Ia pun tidak meninggalkan begitu saja, tetapi mempercayakan kepada pemilik penginapan untuk merawatnya. Ia memberikan dua dinar, yaitu uang senilai dengan upah kerja harian selama dua hari. Dengan uang dua dinar itu orang sudah bisa menginap, makan-minum dan menikmati servis di rumah penginapan lebih dari satu minggu. Dengan demikian orang Samaria itu telah mengantisipasi dan menjamin untuk beberapa hari ke depan, agar si korban perampokan dapat tinggal di rumah penginapan. Tambah lagi kalaupun biaya perawatan masih kurang ia berjanji akan menggantikannya setelah urusan pribadinya beres.
          Perumpamaan pun berakhir. Dengan perumpamaan itu seolah-olah Yesus mau mengatakan bahwa para pemuka agama Yahudi (imam-imam dan kaum Lewi) harusnya mengasihi sesamanya, yaitu orang yang menjadi korban perampokan itu. Namun di akhir kisah-Nya Yesus tidak menyimpulkan apa-apa dan malah bertanya kepada ahli Taurat itu: “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” Yesus membiarkannya menarik kesimpulan sendiri, tetapi Ia telah bergeser dari pertanyaan “Siapakah sesamaku manusia?” (Luk 10:29) ke “Siapakah yang telah menjadi sesama bagi korban perampokan itu?” Alhasil, ahli Taurat itupun tidak bisa mengelak dan mau tidak mau menjawab: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Jawaban yang sangat sederhana dan umum, sehingga tidak menimbulkan konflik kepentingan apapun. Sebab jelas yang dimaksudkannya adalah orang Samaria itu, tetapi ia tidak mengatakannya dengan terus terang dan hanya menyebut “orang yang telah menunjukkan belas kasihan itu.”
          Kesimpulan yang tepat dan Yesus telah membawa ahli Taurat itu beralih dari bertanya “Siapakah sesamaku?” ke introspeksi diri “Aku menjadi sesama siapa?” Perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati dan penuh belas kasihan tanpa mempersoalkan “siapa sesamanya” merupakan sindiran tajam bagi ahli Taurat. Jelas bahwa semua manusia ya sesamanya, sehingga yang jauh lebih penting bukan menanyakan “Siapakah sesamaku?”, tetapi “Bagaimana dapat menjadi sesama bagi yang lain?”, seperti orang Samaria itu. Dengan demikian secara tidak langsung Yesus pun menjawab bahwa semua orang, tanpa pandang bulu, adalah sesama. Namun masalah utamanya bukan soal tahu siapa dan apa yang harus dilakukan untuk sesama, tetapi mau melakukan perbuatan kasih untuk sesama. Oleh karena itu, kepada ahli Taurat itu Yesus berkata: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”

Mencari dan Menjimpit Pesan

          Perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati adalah sebuah kisah contoh. Seorang imam dan Lewi yang meninggalkan begitu saja korban perampokan itu menggambarkan orang-orang yang tidak mampu menolong sesamanya karena halangan status dan tuntutan tugas yang mengikat mereka. Kekakuan pada tuntutan hukum demi ketahiran dan status quo itu telah menghilangkan kepekaan dan kepedulian mereka terhadap sesamanya yang membutuhkan pertolongan. Pada hal kalau pun mereka menyentuh mayat korban itu toh najisnya hanya tujuh hari dan dapat mentahirkan diri. Namun dari pada merepotkan diri dengan upacara pentahiran, rupanya mereka lebih memilih untuk membungkam suara hatinya dan membiarkan sesamanya tidak tertolong.
          Lain halnya dengan orang Samaria yang dipakai sebagai contoh dari orang yang bisa menjadi sesama bagi orang lain. Ia membantu orang tanpa pandang bulu dan tanpa pamrih. Rasa kemanusiaannya tergerak ketika melihat sesamanya tidak berdaya dan membutuhkan pertolongan. Ia tidak mempersoalkan orang itu siapa dan dari mana, tetapi karena dipandang sebagai sesamanya ia rela membantunya. Untuk itu ia pun rela menanggung biaya, meluangkan waktu dan mengorbankan tenaga.
          Para murid Yesus harus peduli dan berbelas kasih kepada siapapun di dunia ini yang kurang beruntung dan membutuhkan pertolongan, tanpa pandang bulu. Sebab perintah untuk mengasihi Allah dan sesama manusia merupakan dasar dari teologi dan moral Kristiani. Kasih kepada Allah berakar pada pengakuan monoteis orang-orang Israel terhadap TUHAN mereka dan perintah untuk mengasihi-Nya (bdk. Ul 6:4-5). Kasih kepada sesama merupakan rangkuman dari seluruh ajaran moral hukum Taurat: “Seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!” (Gal 5:14); “… barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat. Karena firman: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengingini dan firman lain manapun juga, sudah tersimpul dalam firman ini, yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri…” (Rm 13:8-10).
          Penggabungan kasih kepada Allah dan sesama mau menyatakan bahwa tidak ada dua perintah kasih dan tidak ada pula hirarki dalam perintah itu. Oleh karena itu, surat Yakobus menekankan agar jemaat Kristen berbuat baik terhadap siapapun tanpa pandang bulu dan menempatkan kasih kepada sesama sebagai hukum yang utama: “Jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci: ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri’, kamu berbuat baik. Tetapi, jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa, dan oleh hukum itu menjadi nyata, bahwa kamu melakukan pelanggaran” (Yak 2:8-9).
          Sebagai pengikut Kristus, bagi kita pun semua orang adalah sesama, tetapi yang jauh lebih penting bukan sekedar tahu definisi tentang sesama, melainkan bagaimana bisa menjadi sesama bagi orang lain dengan berbelas kasih. Menurut Kitab Suci jelas sekali bahwa mengasihi Allah dan sesama merupakan syarat demi memperoleh hidup kekal, tetapi maukah kita melakukannya? Semua orang adalah sesama kita, tetapi maukah kita menjadi sesama bagi orang lain lewat perbuatan kasih yang nyata?

Mengucap Doa

Demi nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin.
Allah Bapa kami yang maha baik. Engkau telah menyatakan kebaikan-Mu dengan menawarkan keselamatan kepada kami lewat Putera-Mu Yesus Kristus. Syukur atas semuanya itu ya Tuhan. Bantu kami untuk memiliki kepekaan terhadap kebutuhan sesama. Mampukan kami untuk peduli dan rela berkorban untuk sesama yang membutuhkan pertolongan. Demi Kristus, Tuhan dan Pengantara kami.
Demi nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar