Minggu, 04 September 2011, Luk 10:25-37
Hari Minggu Kitab Suci Nasional
“Siapakah
sesamaku manusia?”
(Luk 10:29)
Payah
betul itu Yesus. Orang ditanya “Siapakah sesamaku manusia?” malah ganti nanya
lagi. Apa sih susahnya jawab “Sesama manusia ya manusia toh…”
Bukan
segampang itu kawan jawabnya. Sebab banyak definisi tentang sesama yang berbeda
satu sama lain. Lagian Yesus itu tidak hanya nuntut tahu doank definisi tentang sesama. Mau menjadi sesama bagi yang
lain dengan peduli dan berbuat kasih adalah lebih penting. Lihat tuh
konteksnya.
Melihat
Konteks
(Luk
10:25-37)
25 Pada suatu kali berdirilah seorang
ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: “Guru, apa yang harus kuperbuat
untuk memperoleh hidup yang kekal?” 26 Jawab Yesus kepadanya: “Apa
yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?” 27
Jawab orang itu: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akan budimu,
dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” 28 Kata
Yesus kepadanya: “Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan
hidup.” 29 Tetapi untuk
membenarkan dirinya orang itu berkata
kepada Yesus: “Dan siapakah sesamaku manusia?”
Konteks
dari perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati adalah pembicaraan antara
seorang ahli Taurat dengan Yesus soal hidup kekal. Ahli Taurat adalah seorang
guru yang bertugas mengajarkan dan menjelaskan Taurat Musa. Di kalangan kaum
Farisi ia juga bertugas mengajarkan dan menjelaskan tradisi lisan dari nenek
moyang mereka yang menjabarkan secara rinci pelaksanaan hukum Taurat itu. Ia
bertanya kepada Yesus: “Guru,
apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Hidup kekal adalah hidup
bersama Allah dalam dunia yang akan datang dan melampaui hidup yang sekarang
ini. Kehidupan kekal itu hanya dapat diperoleh jika manusia hidup seturut kehendak
Allah.
Pertanyaan
ahli Taurat itu jelas untuk mencobai Yesus saja, sebab sebagai ahli Taurat
tentu ia sudah tahu bahwa hukum Taurat mengajarkan jalan-jalan menuju hidup
kekal. Cobaan itu untuk menguji apakah Yesus yang disebutnya guru itu paham
akan masalahnya. Itu juga berarti kalau Yesus tidak dapat menjelaskan dengan
baik, Ia bukan guru yang sejati. Ternyata Yesus tidak menjawabnya, tetapi malah
balik bertanya: “Apa yang
tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?” Memang setiap pagi dan
sore orang-orang Yahudi mendaraskan Syema Israel, yaitu pengakuan iman bahwa TUHAN, Allah Israel, itu esa dan perintah
untuk mengasihi-Nya (bdk. Ul 6:4-5).
Yesus
bertanya tentang apa yang diajarkan hukum Taurat untuk memperoleh hidup kekal. Kata
“kekal” bukan merujuk pada periode waktu yang tidak akan berakhir, tetapi pada zaman
terakhir. Oleh karena itu, hidup kekal berarti hidup di zaman yang akan datang.
Sebab orang-orang Yahudi membagi seluruh periode waktu menjadi dua, yaitu zaman
sekarang dan zaman yang akan datang. Maka, pertanyaan tentang cara untuk
memperoleh hidup kekal sama artinya dengan cara memasuki Kerajaan Allah.
Ahli
Taurat itu menjawabnya dengan cepat dan tepat: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap
jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan
kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Ia menggabungkan perintah
dalam Ul 6:5 (“Kasihilah TUHAN,
Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap
kekuatanmu”)
dan Im 19:18 (“Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”). Ia menambahkan “dengan segenap akal budimu”, sebab
menurut alam pikir orang Ibrani, hati adalah tempat bernalar yang sama dengan
akal budi. Namun dalam perkembangan selanjutnya hati juga dimengerti sebagai
tempat afeksi (seperti iba hati), yang dulunya disangka bertempat di perut.
Maka, penambahan “dengan segenap akal budimu” itu mau menjelaskan apa persisnya
yang dimaksud “dengan segenap hatimu”.
Mengasihi
Allah dan sesama memang syarat fundamental menurut hukum Taurat untuk
memperoleh hidup kekal. Kasih itu harus melibatkan jati diri manusia secara
utuh atau keseluruhan aspeksnya, yaitu hati, jiwa, kekuatan dan akal budi. Dengan
segenap hati artinya dengan dipikirkan secara sungguh-sungguh sampai pada
alasan-alasannya yang paling mendasar. Dengan segenap jiwa artinya dengan integritas
atau tanpa kepura-puraan luar-dalam atau tidak munafik. Dengan segenap kekuatan
artinya dengan segala kemampuan yang dimiliki entah kekayaan, kedudukan,
kepandaian, ketrampilan dan keutamaan. Sedangkan mengasihi sesama seperti
mengasihi diri sendiri artinya mengasihi orang lain sebagaimana layaknya kamu memperhatikan
diri sendiri. Atau mengasihi orang lain sebagai pribadi yang dengan sendirinya
berharga. Atau sesuai dengan konteksnya, mengasihi orang lain karena ia juga sama
seperti kamu yang membutuhkan keselamatan dan ingin memperoleh hidup kekal.
Ahli
Taurat itu sebenarnya sudah tahu jawaban dari pertanyaannya, sebab ia bertanya
memang hanya untuk mencobai Yesus. Ia mau tahu apakah Yesus, guru yang bukan
jebolan dari sekolahnya itu, mampu berteologi. Dengan menggabungkan perintah
mengasihi Allah dan sesama ia ingin menguji pandangan Yesus: Apakah mengasihi
Allah saja belum cukup sehingga harus ditambahkan mengasihi sesama? Atau
mengasihi Allah itu mengharuskan mengasihi sesama? Atau mengasihi Allah itu
bisa dipraktekkan dengan mengasihi sesama?
Mrk
12:29-34 mencatat jawaban Yesus ketika ditanya oleh seorang ahli Taurat tentang
perintah yang utama:
29 Jawab Yesus: “Hukum yang terutama
ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. 30
Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. 31 Dan hukum yang
kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum
lain yang lebih utama dari pada kedua hukum itu.” 32 Lalu kata ahli
Taurat itu kepada Yesus: “Tepat sekali, Guru, benar kata-Mu itu, bahwa Dia esa,
dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia. 33 Memang mengasihi Dia
dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan,
dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama
dari pada semua kurban bakaran dan kurban sembelihan.” 34 Yesus
melihat, bagaimana bijaksananya jawab orang itu, dan Ia berkata kepadanya:
“Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!”
Dari
catatan Penginjil Markus, ahli Taurat itu membenarkan jawaban Yesus. Dalam hal
mengasihi sesama ia menambahkan “mengasihi
sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua
kurban bakaran dan kurban sembelihan”. Dengan demikian ia berpendapat bahwa mengasihi sesama
dipandang lebih utama dari semua praktek yang langsung meluhurkan Allah, yaitu
segala bentuk upacara kurban. Maka, Yesus memuji kebijaksanaan ahli Taurat itu:
“Engkau tidak jauh dari Kerajaan
Allah!”
Artinya, pemikiran ahli Taurat itu sangat dekat dengan Kerajaan Allah yang
diajarkan oleh Yesus.
Dalam
pengajaran-Nya Yesus juga menekankan kesatuan antara kedua hukum kasih itu. Ia menegaskan
bahwa mengasihi sesama adalah cara yang paling membantu orang untuk
sungguh-sungguh mengasihi Allah. Dalam Mat 22:37-40 tercatat:
37 Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah
Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap akal budimu. 38 Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.
39 Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. 40 Pada kedua hukum inilah
tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”
Mengasihi
Allah adalah hukum yang terutama dan yang pertama. Mengasihi sesama adalah
hukum yang kedua, tetapi Yesus juga menegaskan bahwa hukum yang kedua itu sama
dengan hukum yang pertama. Dengan kata lain mengasihi sesama adalah cara yang
paling membuat orang bisa sungguh-sungguh mengasihi Allah. Maka, dengan
mengasihi sesama berarti orang telah menjalankan perintah-perintah dari Taurat
dan kitab para nabi. Oleh karena itu, Yesus berkata kepada ahli Taurat: “Perbuatlah demikian, maka engkau akan
hidup.” Memang
demi memperoleh hidup kekal, tidak cukup sekedar mengetahui, tetapi harus
melakukan apa yang hukum Taurat telah ajarkan, yaitu mengasihi sesama. Namun
karena niatnya memang hanya mau mencobai Yesus, maka untuk membenarkan dirinya
ahli Taurat itu mulai berkelit lagi: “Siapakah sesamaku manusia?”
Sudah
barang tentu bahwa sesama manusia ya manusia. Namun di kalangan orang Yahudi
ada berbagai pendapat tentang sesama manusia. Pada umumnya hanya orang-orang
sebangsanya saja yang dianggap sesama oleh orang-orang Yahudi. Tetapi karena
sudah campur dengan ras lain, meskipun orang-orang itu masih sebangsa, yaitu
orang-orang Samaria, mereka tidak lagi dianggap sebagai sesamanya. Bahkan orang-orang
Farisi dan Esseni mempersempit lagi batasan sesama pada orang-orang yang
sekelompoknya saja. Orang-orang Farisi memandang orang-orang Yahudi di luar
kelompoknya bukan sebagai sesama, tetapi orang kebanyakan (‘am ha-ares). Kaum Esseni yang membentuk komunitas Qumran di
pinggiran Laut Mati menganggap orang-orang di luar komunitasnya bukan sebagai
sesama, tetapi “anak-anak kegelapan”. Orang-orang Yahudi yang digolongkan dalam
kelompok kaum pendosa, seperti para pemungut cukai, pelacur dan penderita
kusta, juga tidak dianggap sebagai sesama. Lebih sempit lagi ukuran sesama atau
bukan sesama pun didasarkan pada kawan atau lawan.
Mengatakan
sesama manusia ya manusia pun tidak tanpa masalah. Sebab kalau Yesus mengatakan
bahwa orang-orang Romawi itu sesama, maka orang-orang Yahudi akan menganggap-Nya
sebagai antek atau pendukung penjajahan Romawi. Sebaliknya, mengatakan bahwa
orang-orang Romawi bukan sesama, maka orang-orang Yahudi akan menuduh-Nya
sebagai anti pemerintahan Romawi. Jadi, mengatakan bahwa orang-orang Romawi itu
sesama atau bukan, sama-sama mendatangkan resiko. Oleh karena itu, Yesus tidak
mau terjebak oleh rumitnya persoalan tentang sesama, sehingga menjawabnya lewat
sebuah perumpamaan.
Manusia Menderita
(Seorang Yahudi)
|
|
30 Jawab Yesus: “Adalah seorang yang
turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang
bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang
sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati.
|
|
Manusia Tidak Peduli Sesama
(Seorang Imam dan Lewi bangsa Yahudi)
|
|
31 Kebetulan ada seorang imam turun
melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang
jalan.
|
32 Demikian juga seorang Lewi datang
ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang
jalan.
|
Manusia Peduli Sesama
(Orang Samaria)
|
|
33 Lalu datang seorang Samaria, yang
sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu,
tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. 34 Ia pergi kepadanya lalu
membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur.
Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu
membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. 35 Keesokan
harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya:
Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari pada ini, aku akan
menggantinya, waktu aku kembali.
|
|
Sesama Manusia
(Orang yang telah menunjukkan belas kasihan)
|
|
36 Siapakah di antara ketiga orang
ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke
tangan penyamun itu?” 37 Jawab orang itu: “Orang yang telah
menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan
perbuatlah demikian!”
|
Yesus tidak
menanggapi langsung pertanyaan ahli Taurat, tetapi memaparkan sebuah perumpamaan
tentang orang Samaria yang baik hati: “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke
tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang
juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati.” Jalan dari Yerusalem ke
Yerikho memang menurun, karena kota Yerusalem berketinggian 2.700 kaki di atas
permukaan laut dan kota Yerikho 820 kaki di bawah pemukaan laut. Jalan yang
menurun itu melintasi bukit-bukit padang gurun Yudea dan berjarak sekitar 29 km.
Jalan yang berkelok-kelok dan sepi itu sangat nyaman bagi para perampok untuk
beraksi. Sejarahwan Yahudi, Flavius Yosefus, mencatat kebiasaan orang-orang
Esseni yang membawa beberapa pengawal jika mengadakan perjalanan lewat daerah
itu. Maka, tidak mengherankan kalau di jalan itu ada seorang yang jatuh ke
tangan para penyamun dan dirampok sampai habis-habisan. Mereka juga melucuti
pakaiannya, memukuli dan meninggalkannya dalam keadaan pingsan dan setengah
mati, bahkan sampai tidak berdaya dan sudah seperti mayat.
Syukurlah
lewat seorang imam di jalan itu. Namun ketika melihat korban perampokan yang
tergeletak di pinggir jalan itu, ia menjauhinya dan melintas ke seberang jalan
melewatinya. Demikian halnya dilakukan oleh seorang Lewi yang turun dari
Yerusalem. Baik seorang Lewi maupun imam itu sebenarnya berasal dari satu suku,
yaitu suku Lewi yang berkedudukan elit di antara suku-suku Israel lainnya.
Namun imam itu mendapat jabatan imamatnya secara otomatis karena keturunan
Harun, imam pertama bagi bangsa Israel. Sedangkan seorang Lewi itu bukan imam,
tetapi salah satu warga dari suku Lewi yang juga bertugas untuk melayani ibadat
di Bait Allah Yerusalem. Oleh karena itu, kemungkinan besar seorang imam dan seorang
Lewi itu baru pulang dari Yerusalem menjalankan tugasnya melayani ibadat dan mempersembahkan
kurban di Bait Allah. Memang banyak kaum Lewi dan imam-imam yang bertempat
tinggal di Yerikho dan tugas pelayanan mereka di Bait Allah Yerusalem.
Berkaitan
dengan upacara kurban yang kudus di Bait Allah, para imam atau kaum Lewi harus
selalu dalam keadaan tahir. Mereka harus menjauhkan diri dari kontak dengan hal-hal
yang najis, seperti mayat dan kuburan. Dalam Bil 19:16 tertulis: “Setiap orang yang di padang, yang kena
kepada seorang yang mati terbunuh oleh pedang, atau kepada mayat, atau kepada
tulang-tulang seorang manusia, atau kepada kubur, orang itu najis tujuh hari
lamanya.” Yeh
44:25-27 juga memaparkan larangan untuk melihat orang mati kecuali dari
kalangan keluarganya sendiri: “Mereka
tidak boleh melihat orang mati oleh karena dengan demikian mereka menjadi
najis. Hanya dengan mayat bapaknya atau ibunya, anaknya lelaki atau perempuan,
kakak adiknya lelaki, kakak adiknya perempuan yang belum kawin, mereka boleh
menajiskan dirinya. Sesudah pentahirannya ia harus menghitung tujuh hari, dan
pada hari ia masuk lagi ke tempat kudus, ke pelataran dalam, untuk
menyelenggarakan kebaktian di tempat kudus, ia harus mempersembahkan kurban
penghapus dosanya.” Im 21:1-4,11 secara khusus mengalamatkan larangan penajisan diri
dengan mayat itu kepada para imam.
Nah,
bisa jadi seorang imam dan Lewi itu melihat bahwa korban perampokan itu tergeletak
dan sudah tidak berdaya seperti mayat. Maka, demi menjaga ketahiran dirinya,
mereka sengaja menjauh dan lewat seberang jalan meninggalkannya. Pada hal
seorang imam dan Lewi itu punya kewajiban untuk menyelamatkan hidup seseorang.
Seandainya mereka pun menyentuh mayat dan najis, toh kenajisan itu hanya tujuh
hari dan mereka bisa mentahirkan diri: “Orang yang kena kepada mayat, ia najis tujuh hari lamanya. Ia harus
menghapus dosa dari dirinya dengan air pada hari yang ketiga, dan pada hari
yang ketujuh tahir…” (Bil 19:11-13). Namun nampaknya mereka tidak mau merepotkan diri
dengan urusan pentahiran, sehingga mereka tinggalkan begitu saja orang yang ternyata
belum jadi mayat, tetapi sedang sekarat saja dan membutuhkan pertolongan
segera. Maka, sebenarnya masalahnya bukan soal lebih memprioritaskan aturan
pentahiran, tetapi soal tidak adanya rasa peduli dan belas kasihan terhadap
korban perampokan itu. Persoalan itu menjadi terang benderang bila dibandingkan
dengan sikap orang Samaria yang baik hati.
Orang-orang Samaria dipandang sebagai musuh
oleh orang-orang Yahudi. Singkat ceritanya begini! Bangsa Israel pecah menjadi
dua, yaitu Kerajaan Utara dengan nama Israel beribukota di Samaria dan Kerajaan
Selatan dengan nama Yehuda beribukota di Yerusalem. Kerajaan Utara ditaklukkan
dan dijajah oleh bangsa Asyur. Sebagian penduduknya dibuang ke Asyur dan sejak tahun
722 SM wilayah kota Samaria dan sekitarnya dihuni oleh sisa-sisa Israel yang
bercampur dengan bangsa-bangsa asing yang dibuang ke situ (bdk. 2 Raj 17:6,24).
Orang-orang campuran dan keturunan mereka itulah yang di kemudian hari disebut
orang-orang Samaria. Jadi, orang-orang Samaria adalah orang-orang Israel yang
telah bercampur dengan bangsa-bangsa asing, sehingga ras Israel mereka tidak
murni lagi.
Kerajaan
Selatan ditaklukkan dan dijajah oleh bangsa Babel. Hampir seluruh penduduk
Yerusalem dibuang ke Babel dan mereka ditempatkan pada satu daerah tertentu.
Alhasil, ras Israel mereka masih terpelihara hingga dipulangkannya mereka ke
Yerusalem oleh bangsa Persia yang menaklukkan Babel setelah tujuh puluh tahun
mereka berada di pembuangan. Orang-orang Yehuda yang dipulangkan dan keturunan
mereka yang masih beras murni Israel itulah di kemudian hari disebut orang-orang
Yahudi. Saat mereka membangun kembali kota Yerusalem, orang-orang Samaria
mengganggu proses pembangunan itu dan terjadilah konflik rasial (ras murni dan
tidak murni Israel). Konflik semakin tajam dan permusuhan pun terjadi ketika
pada abad ke-3 SM orang-orang Samaria membangun tempat ibadat tersendiri di
gunung Gerizim yang di abad berikutnya dihancurkan oleh raja dan imam agung
Yahudi Yohanes Hirkanus. Orang-orang Samaria pun memakai kelima buku Taurat,
tetapi dalam versi mereka sendiri. Akibatnya orang-orang Yahudi memandang
mereka najis, kafir dan otomatis memusuhi mereka.
Orang-orang
Samaria bermusuhan dengan orang-orang Yahudi, namun seorang Samaria dalam
perumpamaan itu justru tergerak hatinya memberi bantuan bagi korban perampokan
itu. Ia memandang orang yang tergeletak tidak berdaya itu sebagai sesamanya
manusia, sehingga terketuklah rasa kemanusiaannya untuk membantu: “Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya
dengan minyak dan anggur.”
Campuran
minyak dan anggur memang dapat dijadikan obat untuk mengurangi rasa sakit, pembersih
luka-luka dan penangkal infeksi. Cara pengobatan demikian sudah menjadi
kebiasaan lama bagi orang-orang Yahudi maupun Yunani. Namun dengan tindakan itu
mau dilukiskan betapa kontrasnya kebaikan orang Samaria itu dibandingkan dengan
imam dan Lewi yang seharusnya menolong korban perampokan itu. Sebab minyak dan
anggur selalu ada di antara mereka sebagai salah satu bagian dari kurban di
Bait Allah (bdk. Im 23:13).
Kebaikan
orang Samaria itu memang tidak tanggung-tanggung. Setelah membalut luka-luka
dan mengobatinya, “kemudian ia
menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke
tempat penginapan dan merawatnya.” Artinya, ia harus berjalan kaki sambil menuntun keledainya
ke rumah penginapan. Di sana ia masih merawatnya sampai saat ia harus pergi
meninggalkannya untuk urusan pribadinya. Ia pun tidak meninggalkan begitu saja,
tetapi mempercayakan kepada pemilik penginapan untuk merawatnya. Ia memberikan
dua dinar, yaitu uang senilai dengan upah kerja harian selama dua hari. Dengan
uang dua dinar itu orang sudah bisa menginap, makan-minum dan menikmati servis
di rumah penginapan lebih dari satu minggu. Dengan demikian orang Samaria itu
telah mengantisipasi dan menjamin untuk beberapa hari ke depan, agar si korban
perampokan dapat tinggal di rumah penginapan. Tambah lagi kalaupun biaya
perawatan masih kurang ia berjanji akan menggantikannya setelah urusan
pribadinya beres.
Perumpamaan
pun berakhir. Dengan perumpamaan itu seolah-olah Yesus mau mengatakan bahwa
para pemuka agama Yahudi (imam-imam dan kaum Lewi) harusnya mengasihi
sesamanya, yaitu orang yang menjadi korban perampokan itu. Namun di akhir kisah-Nya
Yesus tidak menyimpulkan apa-apa dan malah bertanya kepada ahli Taurat itu: “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut
pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun
itu?” Yesus
membiarkannya menarik kesimpulan sendiri, tetapi Ia telah bergeser dari
pertanyaan “Siapakah sesamaku manusia?” (Luk 10:29) ke “Siapakah yang telah
menjadi sesama bagi korban perampokan itu?” Alhasil, ahli Taurat itupun tidak
bisa mengelak dan mau tidak mau menjawab: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Jawaban yang sangat
sederhana dan umum, sehingga tidak menimbulkan konflik kepentingan apapun. Sebab
jelas yang dimaksudkannya adalah orang Samaria itu, tetapi ia tidak
mengatakannya dengan terus terang dan hanya menyebut “orang yang telah
menunjukkan belas kasihan itu.”
Kesimpulan
yang tepat dan Yesus telah membawa ahli Taurat itu beralih dari bertanya
“Siapakah sesamaku?” ke introspeksi diri “Aku menjadi sesama siapa?” Perumpamaan
tentang orang Samaria yang baik hati dan penuh belas kasihan tanpa
mempersoalkan “siapa sesamanya” merupakan sindiran tajam bagi ahli Taurat. Jelas
bahwa semua manusia ya sesamanya, sehingga yang jauh lebih penting bukan
menanyakan “Siapakah sesamaku?”, tetapi “Bagaimana dapat menjadi sesama bagi
yang lain?”, seperti orang Samaria itu. Dengan demikian secara tidak langsung
Yesus pun menjawab bahwa semua orang, tanpa pandang bulu, adalah sesama. Namun
masalah utamanya bukan soal tahu siapa dan apa yang harus dilakukan untuk
sesama, tetapi mau melakukan perbuatan kasih untuk sesama. Oleh karena itu,
kepada ahli Taurat itu Yesus berkata: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”
Mencari dan
Menjimpit Pesan
Perumpamaan
tentang orang Samaria yang baik hati adalah sebuah kisah contoh. Seorang imam
dan Lewi yang meninggalkan begitu saja korban perampokan itu menggambarkan
orang-orang yang tidak mampu menolong sesamanya karena halangan status dan tuntutan
tugas yang mengikat mereka. Kekakuan pada tuntutan hukum demi ketahiran dan status quo itu telah menghilangkan kepekaan dan kepedulian
mereka terhadap sesamanya yang membutuhkan pertolongan. Pada hal kalau pun mereka
menyentuh mayat korban itu toh najisnya hanya tujuh hari dan dapat mentahirkan
diri. Namun dari pada merepotkan diri dengan upacara pentahiran, rupanya mereka
lebih memilih untuk membungkam suara hatinya dan membiarkan sesamanya tidak
tertolong.
Lain
halnya dengan orang Samaria yang dipakai sebagai contoh dari orang yang bisa
menjadi sesama bagi orang lain. Ia membantu orang tanpa pandang bulu dan tanpa pamrih.
Rasa kemanusiaannya tergerak ketika melihat sesamanya tidak berdaya dan
membutuhkan pertolongan. Ia tidak mempersoalkan orang itu siapa dan dari mana,
tetapi karena dipandang sebagai sesamanya ia rela membantunya. Untuk itu ia pun
rela menanggung biaya, meluangkan waktu dan mengorbankan tenaga.
Para
murid Yesus harus peduli dan berbelas kasih kepada siapapun di dunia ini yang
kurang beruntung dan membutuhkan pertolongan, tanpa pandang bulu. Sebab
perintah untuk mengasihi Allah dan sesama manusia merupakan dasar dari teologi
dan moral Kristiani. Kasih kepada Allah berakar pada pengakuan monoteis orang-orang
Israel terhadap TUHAN mereka dan perintah untuk mengasihi-Nya (bdk. Ul 6:4-5).
Kasih kepada sesama merupakan rangkuman dari seluruh ajaran moral hukum Taurat:
“Seluruh hukum Taurat tercakup
dalam satu firman ini, yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri!” (Gal
5:14); “… barangsiapa mengasihi
sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat. Karena firman: jangan
berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengingini dan firman lain
manapun juga, sudah tersimpul dalam firman ini, yaitu: Kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri…” (Rm 13:8-10).
Penggabungan
kasih kepada Allah dan sesama mau menyatakan bahwa tidak ada dua perintah kasih
dan tidak ada pula hirarki dalam perintah itu. Oleh karena itu, surat Yakobus menekankan
agar jemaat Kristen berbuat baik terhadap siapapun tanpa pandang bulu dan
menempatkan kasih kepada sesama sebagai hukum yang utama: “Jikalau kamu menjalankan hukum utama yang
tertulis dalam Kitab Suci: ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri’,
kamu berbuat baik. Tetapi, jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa, dan
oleh hukum itu menjadi nyata, bahwa kamu melakukan pelanggaran” (Yak 2:8-9).
Sebagai
pengikut Kristus, bagi kita pun semua orang adalah sesama, tetapi yang jauh
lebih penting bukan sekedar tahu definisi tentang sesama, melainkan bagaimana
bisa menjadi sesama bagi orang lain dengan berbelas kasih. Menurut Kitab Suci
jelas sekali bahwa mengasihi Allah dan sesama merupakan syarat demi memperoleh
hidup kekal, tetapi maukah kita melakukannya? Semua orang adalah sesama kita,
tetapi maukah kita menjadi sesama bagi orang lain lewat perbuatan kasih yang
nyata?
Mengucap Doa
Demi
nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin.
Allah
Bapa kami yang maha baik. Engkau telah menyatakan kebaikan-Mu dengan menawarkan
keselamatan kepada kami lewat Putera-Mu Yesus Kristus. Syukur atas semuanya itu
ya Tuhan. Bantu kami untuk memiliki kepekaan terhadap kebutuhan sesama.
Mampukan kami untuk peduli dan rela berkorban untuk sesama yang membutuhkan
pertolongan. Demi Kristus, Tuhan dan Pengantara kami.
Demi
nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar