Sabtu, 10 September 2011

Pengampunan

Minggu, 11 September 2011, Mat 18:21-35


“Sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku?”

(Mat 18:21)





      Yang bener ajalah. Masak harus ngampuni sampe 70x7 kali? Itu artinya 490 kali lho…!

        Emang 70x7=490. Tapi angka itu harus dimaknai sebagai yang tak terbatas. Ngampuni itu jangan pake hitung-hitungan.

          Kan para rabi Yahudi ngajarin cukuplah ngampuni itu sampe tiga kali aja.

          Betul. Tapi itu kan sama saja hanya nunda waktu ‘tuk balas dendam to… Sampe tiga kali oklah, tapi keempat kalinya… awas ya, ‘tak ada ampun lagi bagimu.

          Emangnya kenapa kita harus ngampuni tanpa batas?

          Lihat donk konteksnya!





Melihat Konteks

(Mat 18:21-35)



21 Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” 22 Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.”



          Perumpamaan tentang pengampunan merupakan bagian dari pengajaran Yesus pada tahap akhir misi-Nya di Galilea. Pengajaran tersebut menyangkut relasi satu sama lain dalam hidup berkomunitas, di mana para pengikut Kristus harus saling mengampuni. Dalam wejangan tentang doa Bapa Kami, Yesus telah mengajarkan: “… dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami…” (Mat 6:9-13). Jadi, ukuran dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan ampun kita adalah kesediaan kita mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Masalahnya sampai berapa kali kita harus mengampuni orang yang bersalah kepada kita?


          Perumpamaan tentang pengampunan didahului dengan pertanyaan Petrus kepada Yesus: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” Pertanyaan Petrus itu merupakan gema dari perdebatan di antara orang-orang Yahudi, karena para rabi mengajarkan bahwa pengampunan cukup tiga kali saja. Lebih dari itu, artinya empat, lima, enam, tujuh kali dst. sudah terhitung keutamaan. Maka, Petrus yang mengajukan pengampunan sampai tujuh kali sebenarnya sudah melampaui batas keharusan. Namun Yesus menjawab: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.”

          Penginjil Lukas mencatat dengan bahasa yang lebih sederhana: “Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia. Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia” (Luk 17:3-4). Nah, kemungkinan Penginjil Matius membandingkan jawaban Yesus dengan Kej 4:24 dan mengubah pembalasan dengan pengampunan: “Jika Kain harus dibalaskan tujuh kali lipat, maka Lamekh tujuh puluh tujuh kali lipat.” Barangsiapa membunuh Kain sebagai balas dendam atas kematian Habel yang dibunuhnya akan dibalaskan kepadanya tujuh kali lipat (bdk. Kej 4:15). Tujuh kali lipat sama dengan empat puluh sembilan kali, tetapi seturut gaya bicara orang Israel permainan angka itu harus dimaknai dengan tidak kenal batas. Demikian halnya dengan balas dendam terhadap Lamekh yang membunuh anak muda akan dibalaskan sampai tujuh puluh tujuh kali lipat (bdk. Kej 4:23-24), yang berarti tidak terbatas.

          Kebiasaan balas dendam tidak boleh dilanjutkan, sebab hanya akan semakin memperburuk keadaan. Pertanyaan Petrus adalah gema dari upaya pembatasan balas dendam itu. Maksudnya, bila seorang saudara melakukan kesalahan untuk pertama kalinya, ampunilah dan jangan balas dendam. Demikian juga untuk kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh kalinya, ampunilah dan jangan balas dendam. Tetapi setelah tujuh kali berbuat salah, saudara itu mengulangi perbuatan yang salah lagi, bolehkah tidak diampuni, karena sudah kelewat batas?

          Yesus menjawab: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” Artinya, tidak terbatas, sebab angka tujuh simbol untuk kepenuhan, keseluruhan dan kesempurnaan. Jadi, Yesus mau mengajarkan tentang pengampunan yang tanpa batas. Dengan kata lain orang tidak perlu menghitung-hitung sampai berapa kali harus mengampuni, tetapi lakukan saja terus-menerus. Nah, untuk menjelaskan mengapa para murid harus mengampuni terus-menerus itu Yesus mengisahkan perumpamaan tentang pengampunan.


Mat 18:23-35
I   Raja/Kreditor dan Hamba/Debitor
II   Hamba dan Kawannya
A                   Situasi                       A’
23 Sebab hal Kerajaan Surga seumpama seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. 24 Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta.
28a Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya.
B              Reaksi si kreditor              B’
25 Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta anak isterinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya.
28b Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu!
C           Permohonan si debitor          C’
26 Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan.
29 Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan.
D           Reaksi si kreditor              D’
27 Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya.
30 Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskan- nya hutangnya.
III   Raja dan Hamba
A    Situasi
31 Melihat itu kawan-kawannya yang lain sangat sedih lalu menyampaikan segala yang terjadi kepada tuan mereka.
B    Peringatan si raja kepada hamba
32 Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku.
C    Peringatan si raja kepada hamba
33 Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?
D    Reaksi/Kemarahan raja
34 Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya.
Aplikasi/Penerapan
35 Maka Bapa-Ku yang di surga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.


          Yesus berkata:“Kerajaan Surga seumpama seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta.” Satu talenta nilainya antara 6.000 sampai 10.000 dinar. Jadi, dengan hitungan nilai terendah, 10.000 talenta sama dengan 60.000.000 dinar. Karena satu dinar merupakan upah kerja harian untuk satu hari, maka 10.000 talenta sama dengan upah kerja harian selama 60.000.000 hari. Itu berarti hutang yang sangat besar dan tidak mungkin terbayar untuk seorang hamba. Oleh karena itu, tuannya menganjurkan agar seluruh harta milik hamba itu, juga dirinya beserta anak-isterinya dijual untuk melunasi hutangnya.
          Penjualan hamba beserta anak-isterinya merujuk pada transaksi jual-beli manusia sebagai budak, yang waktu itu harganya berkisar 500 sampai 2.000 dinar per orang. Dengan demikian meskipun hamba itu dan anak-istrinya pun dijual toh tidak cukup juga untuk pelunasan hutangnya. Itu artinya sebuah rancangan hukuman yang sangat berat. Apalagi menurut hukum Yahudi, seseorang boleh dijual kalau ketangkap mencuri dan tidak bisa mengembalikan barang curiannya (bdk. Kel 22:1-3), tetapi seorang isteri tidak dapat dijual sebagai pelunas hutang. Penjualan anak-anak sebagai budak pun jarang terjadi pada bangsa Israel. Maka, kisah tentang raja yang mengusulkan penjualan hamba beserta anak-isterinya itu nampaknya berlatar belakang dunia kafir.
          Hamba itu memohon belas kasih dari tuannya: “Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan.” Maka, tergerak oleh belas kasihan, raja itu bukan hanya memberi kelonggaran waktu, tetapi malah menghapus seluruh hutangnya. Hamba itupun dengan sangat gembira meninggalkan tuannya. Lalu di tengah jalan ia bertemu dengan kawannya yang berhutang 100 dinar kepadanya. Dengan kasar ia memaksa agar hutangnya segera dibayar, pada hal ia hanya berhutang 100 dinar yang sama dengan upah kerja harian 100 hari. Itu berarti hanya sepersekiannya dari hutangnya kepada raja yang baru saja dihapuskan. Meski kawan itu memohon belas kasih seperti yang pernah ia minta kepada tuannya, “Sabarlah dahulu, hutangku akan kulunaskan”, namun ia tidak menggubrisnya, bahkan tega memenjarakannya sampai hutangnya lunas. Pada hal memenjarakan seorang hamba hanya karena hutang tidak diperbolehkan menurut hukum Yahudi.

          Rupanya hamba itu tidak mau berbagi keberuntungan dengan kawannya. Meski baru saja mengalami belas kasih dan kemurahan hati yang begitu besar dari tuannya ia tidak tergerak hatinya untuk berbelas kasih, malah bersikap kejam terhadap kawan kerjanya. Maka, rekan-rekan kerja lainnya menjadi sedih. Kepekaan hati mereka terusik dan suara hati mereka berteriak menyaksikan kekejaman hamba itu. Mereka pun tidak tinggal diam dengan ketidakberesan itu, sehingga melaporkan hamba itu kepada tuannya. Hamba itupun segera dipanggil dan dengan penuh kemarahan tuannya berkata: “Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?”
          Raja itu marah karena hamba yang telah menerima belas kasih dan penghapusan hutang darinya yang begitu besar itu tidak mau berbelas kasih dan berbagi keberuntungan kepada kawannya yang hanya berhutang sedikit kepadanya. Maka, raja menyerahkan hamba itu ke tangan algojo-algojo sampai lunas hutangnya.


Mencari Pesan

          Belas kasih dan penghapusan hutang yang begitu besar dari sang raja menggambarkan besarnya belas kasih dan pengampunan Allah yang telah diterima umat-Nya atas dosa kesalahannya. Sang raja berarti gambaran untuk Allah dan hamba gambaran untuk umat manusia. Kekejaman hamba yang tidak mau berbelas kasih dan tidak mau berbagi keberuntungan dengan menghapus hutang kawannya menggambarkan umat manusia yang tidak terdorong oleh belas kasihan dan tidak mau mengampuni kesalahan sesamanya. Umat Allah yang hanya mau menerima dan tidak mau berbagi belas kasih dan pengampunan Allah dengan mengampuni kesalahan sesamanya diingatkan bahwa di akhir zaman penghakiman dan hukuman telah menunggunya. Maka, sebagaimana raja itu kemudian menyerahkan hambanya ke algojo-algojo sampai lunas hutangnya, demikian juga Allah akan menghakimi dan menghukum umat-Nya yang tidak berpengampunan terhadap sesamanya itu pada akhir zaman. Oleh karena itu, di akhir kisah Yesus mengatakan: “Bapa-Ku yang di surga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.”
       Keikhlasan mengampuni kesalahan saudara menjadi titik tolak pengampunan dari Allah atas dosa kesalahan umat-Nya. Yesus memakai kata “saudara” yang juga berarti “sesama”, namun tekanannya lebih pada sesama dalam umat Allah. Petrus juga bertanya tentang pengampunan terhadap “saudara”, yang berarti “sesama pengikut Yesus”. Dengan demikian kesalahan dan pengampunan itu merujuk pada masalah internal umat Allah, para pengikut Yesus sendiri. Namun pilihan Yesus yang mengisahkan tokoh raja kafir untuk menggambarkan belas kasih dan pengampunan Allah kiranya juga dapat dimaknai sebagai tantangan agar umat Allah berbelas kasih dan mau mengampuni kesalahan orang dari luar kalangan umat Allah.
          Ketidakmauan mengampuni kesalahan sesama akan mendatangkan hukuman mengerikan di akhir zaman nanti. Dengan akibat fatal yang nanti akan menimpanya itu diharapkan agar umat Allah tergerak hatinya untuk terus-menerus berusaha mengampuni kesalahan sesamanya.


Menjimpit Pesan

          Belas kasih Allah yang begitu besar merujuk pada pengampunan Allah atas dosa-dosa umat manusia melalui darah Yesus yang tertumpah di kayu salib. Jika Allah telah berkenan mengampuni dosa kesalahan kita yang begitu besar, maka kita pun para pengikut Yesus yang menjadi umat-Nya hendaknya berusaha terus-menerus untuk mengampuni sesama yang mungkin tidak seberapa besar kesalahannya. Belas kasih dan pengampunan Allah itu mestinya juga mendorong kita mau secara ikhlas saling mengampuni sebagai saudara yang sering melakukan kesalahan satu sama lain.
          Sikap pengampun dan belas kasih itu perlu ditumbuhkembangkan karena Allah sudah lebih dahulu berbelas kasih dan mengampuni dosa kesalahan kita. Dengan demikian kiranya belas kasih dan pengampunan kita menjadi pancaran dari belas kasih dan pengampunan Allah. Maka, sebagaimana Allah menawarkan terus-menerus belas kasih dan pengampunan-Nya, demikian halnya belas kasih dan pengampunan kita harus tanpa batas. Bukankah membatasi jumlah pengampunan itu sama saja dengan menunda sementara pembalasan dendam? Bolehlah sampai tiga kali, tujuh kali, kita masih ada maaf, tetapi itu ‘kan sama saja setelah tujuh kali ‘tak ada maaf lagi to… Dengan pengampunan tanpa batas atau terus-menerus mengampuni, Yesus mau menjauhkan kita dari kemungkinan balas dendam.


Mengucap Doa

Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin.
Allah Bapa kami yang maha pengampun. Engkau telah mengampuni dan menebus dosa-dosa kami lewat penumpahan darah Putera-Mu yang mati di kayu salib. Syukur atas semuanya itu ya Tuhan. Bantu kami untuk selalu menyadari dan mengalami besarnya pengampunan-Mu. Mampukan kami untuk berbagi pengampunan kepada sesama dan menjauhkan diri dari niat balas dendam. Demi Kristus, Tuhan dan Pengantara kami.
Demi nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar