Minggu, 11 September 2011, Mat 18:21-35
“Sampai
berapa kali aku harus mengampuni saudaraku?”
(Mat
18:21)
Yang
bener ajalah. Masak harus ngampuni sampe 70x7 kali? Itu artinya 490 kali lho…!
Emang
70x7=490. Tapi angka itu harus dimaknai sebagai yang tak terbatas. Ngampuni itu
jangan pake hitung-hitungan.
Kan
para rabi Yahudi ngajarin cukuplah ngampuni itu sampe tiga kali aja.
Betul.
Tapi itu kan sama saja hanya nunda waktu ‘tuk balas dendam to… Sampe tiga kali
oklah, tapi keempat kalinya… awas ya, ‘tak ada ampun lagi bagimu.
Emangnya
kenapa kita harus ngampuni tanpa batas?
Lihat donk konteksnya!
Melihat
Konteks
(Mat
18:21-35)
21 Kemudian datanglah Petrus dan
berkata kepada Yesus: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku
jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” 22 Yesus
berkata kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali,
melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.”
Perumpamaan
tentang pengampunan merupakan bagian dari pengajaran Yesus pada tahap akhir
misi-Nya di Galilea. Pengajaran tersebut menyangkut relasi satu sama lain dalam
hidup berkomunitas, di mana para pengikut Kristus harus saling mengampuni. Dalam
wejangan tentang doa Bapa Kami, Yesus telah mengajarkan: “… dan ampunilah kami akan kesalahan kami,
seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami…” (Mat 6:9-13). Jadi, ukuran
dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan ampun kita adalah kesediaan kita
mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Masalahnya sampai berapa kali kita
harus mengampuni orang yang bersalah kepada kita?
Perumpamaan
tentang pengampunan didahului dengan pertanyaan Petrus kepada Yesus: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus
mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” Pertanyaan Petrus itu merupakan gema dari perdebatan di
antara orang-orang Yahudi, karena para rabi mengajarkan bahwa pengampunan cukup
tiga kali saja. Lebih dari itu, artinya empat, lima, enam, tujuh kali dst.
sudah terhitung keutamaan. Maka, Petrus yang mengajukan pengampunan sampai
tujuh kali sebenarnya sudah melampaui batas keharusan. Namun Yesus menjawab: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai
tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.”
Penginjil
Lukas mencatat dengan bahasa yang lebih sederhana: “Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah
dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia. Bahkan jikalau ia berbuat dosa
terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan
berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia” (Luk 17:3-4). Nah, kemungkinan
Penginjil Matius membandingkan jawaban Yesus dengan Kej 4:24 dan mengubah
pembalasan dengan pengampunan: “Jika
Kain harus dibalaskan tujuh kali lipat, maka Lamekh tujuh puluh tujuh kali
lipat.” Barangsiapa
membunuh Kain sebagai balas dendam atas kematian Habel yang dibunuhnya akan
dibalaskan kepadanya tujuh kali lipat (bdk. Kej 4:15). Tujuh kali lipat sama
dengan empat puluh sembilan kali, tetapi seturut gaya bicara orang Israel permainan
angka itu harus dimaknai dengan tidak kenal batas. Demikian halnya dengan balas
dendam terhadap Lamekh yang membunuh anak muda akan dibalaskan sampai tujuh
puluh tujuh kali lipat (bdk. Kej 4:23-24), yang berarti tidak terbatas.
Kebiasaan
balas dendam tidak boleh dilanjutkan, sebab hanya akan semakin memperburuk
keadaan. Pertanyaan Petrus adalah gema dari upaya pembatasan balas dendam itu.
Maksudnya, bila seorang saudara melakukan kesalahan untuk pertama kalinya,
ampunilah dan jangan balas dendam. Demikian juga untuk kedua, ketiga, keempat,
kelima, keenam dan ketujuh kalinya, ampunilah dan jangan balas dendam. Tetapi
setelah tujuh kali berbuat salah, saudara itu mengulangi perbuatan yang salah
lagi, bolehkah tidak diampuni, karena sudah kelewat batas?
Yesus
menjawab: “Bukan! Aku berkata
kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” Artinya, tidak terbatas,
sebab angka tujuh simbol untuk kepenuhan, keseluruhan dan kesempurnaan. Jadi,
Yesus mau mengajarkan tentang pengampunan yang tanpa batas. Dengan kata lain orang
tidak perlu menghitung-hitung sampai berapa kali harus mengampuni, tetapi
lakukan saja terus-menerus. Nah, untuk menjelaskan mengapa para murid harus
mengampuni terus-menerus itu Yesus mengisahkan perumpamaan tentang pengampunan.
Mat 18:23-35
|
|
I Raja/Kreditor dan Hamba/Debitor
|
II Hamba dan Kawannya
|
A
Situasi A’
|
|
23 Sebab hal Kerajaan Surga seumpama
seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. 24
Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang
yang berhutang sepuluh ribu talenta.
|
28a Tetapi ketika hamba itu keluar,
ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya.
|
B Reaksi si kreditor B’
|
|
25 Tetapi karena orang itu tidak
mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta
anak isterinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya.
|
28b Ia menangkap dan mencekik
kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu!
|
C Permohonan si debitor C’
|
|
26 Maka sujudlah hamba itu menyembah
dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan.
|
29 Maka sujudlah kawannya itu dan
memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan.
|
D Reaksi si kreditor D’
|
|
27 Lalu tergeraklah hati raja itu
oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan
menghapuskan hutangnya.
|
30 Tetapi ia menolak dan menyerahkan
kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskan- nya hutangnya.
|
III Raja dan Hamba
|
|
A Situasi
|
|
31 Melihat itu kawan-kawannya yang
lain sangat sedih lalu menyampaikan segala yang terjadi kepada tuan mereka.
|
|
B Peringatan si raja kepada hamba
|
|
32 Raja itu menyuruh memanggil orang
itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah
kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku.
|
|
C Peringatan si raja kepada hamba
|
|
33 Bukankah engkau pun harus
mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?
|
|
D Reaksi/Kemarahan raja
|
|
34 Maka marahlah tuannya itu dan
menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya.
|
|
Aplikasi/Penerapan
|
|
35 Maka Bapa-Ku yang di surga akan
berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak
mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.
|
Yesus berkata:“Kerajaan Surga seumpama seorang raja yang
hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. Setelah ia mulai
mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang
sepuluh ribu talenta.” Satu talenta nilainya antara 6.000 sampai 10.000 dinar.
Jadi, dengan hitungan nilai terendah, 10.000 talenta sama dengan 60.000.000
dinar. Karena satu dinar merupakan upah kerja harian untuk satu hari, maka
10.000 talenta sama dengan upah kerja harian selama 60.000.000 hari. Itu
berarti hutang yang sangat besar dan tidak mungkin terbayar untuk seorang
hamba. Oleh karena itu, tuannya menganjurkan agar seluruh harta milik hamba itu,
juga dirinya beserta anak-isterinya dijual untuk melunasi hutangnya.
Penjualan
hamba beserta anak-isterinya merujuk pada transaksi jual-beli manusia sebagai
budak, yang waktu itu harganya berkisar 500 sampai 2.000 dinar per orang. Dengan
demikian meskipun hamba itu dan anak-istrinya pun dijual toh tidak cukup juga
untuk pelunasan hutangnya. Itu artinya sebuah rancangan hukuman yang sangat
berat. Apalagi menurut hukum Yahudi, seseorang boleh dijual kalau ketangkap
mencuri dan tidak bisa mengembalikan barang curiannya (bdk. Kel 22:1-3), tetapi
seorang isteri tidak dapat dijual sebagai pelunas hutang. Penjualan anak-anak
sebagai budak pun jarang terjadi pada bangsa Israel. Maka, kisah tentang raja
yang mengusulkan penjualan hamba beserta anak-isterinya itu nampaknya berlatar
belakang dunia kafir.
Hamba
itu memohon belas kasih dari tuannya: “Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan.” Maka, tergerak oleh belas
kasihan, raja itu bukan hanya memberi kelonggaran waktu, tetapi malah menghapus
seluruh hutangnya. Hamba itupun dengan sangat gembira meninggalkan tuannya.
Lalu di tengah jalan ia bertemu dengan kawannya yang berhutang 100 dinar
kepadanya. Dengan kasar ia memaksa agar hutangnya segera dibayar, pada hal ia
hanya berhutang 100 dinar yang sama dengan upah kerja harian 100 hari. Itu
berarti hanya sepersekiannya dari hutangnya kepada raja yang baru saja
dihapuskan. Meski kawan itu memohon belas kasih seperti yang pernah ia minta
kepada tuannya, “Sabarlah dahulu,
hutangku akan kulunaskan”, namun ia tidak menggubrisnya, bahkan tega memenjarakannya sampai
hutangnya lunas. Pada hal memenjarakan seorang hamba hanya karena hutang tidak
diperbolehkan menurut hukum Yahudi.
Rupanya
hamba itu tidak mau berbagi keberuntungan dengan kawannya. Meski baru saja
mengalami belas kasih dan kemurahan hati yang begitu besar dari tuannya ia
tidak tergerak hatinya untuk berbelas kasih, malah bersikap kejam terhadap
kawan kerjanya. Maka, rekan-rekan kerja lainnya menjadi sedih. Kepekaan hati
mereka terusik dan suara hati mereka berteriak menyaksikan kekejaman hamba itu.
Mereka pun tidak tinggal diam dengan ketidakberesan itu, sehingga melaporkan
hamba itu kepada tuannya. Hamba itupun segera dipanggil dan dengan penuh
kemarahan tuannya berkata:
“Hai hamba yang jahat, seluruh
hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkau
pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?”
Raja
itu marah karena hamba yang telah menerima belas kasih dan penghapusan hutang
darinya yang begitu besar itu tidak mau berbelas kasih dan berbagi keberuntungan
kepada kawannya yang hanya berhutang sedikit kepadanya. Maka, raja menyerahkan
hamba itu ke tangan algojo-algojo sampai lunas hutangnya.
Mencari Pesan
Belas
kasih dan penghapusan hutang yang begitu besar dari sang raja menggambarkan
besarnya belas kasih dan pengampunan Allah yang telah diterima umat-Nya atas
dosa kesalahannya. Sang raja berarti gambaran untuk Allah dan hamba gambaran untuk
umat manusia. Kekejaman hamba yang tidak mau berbelas kasih dan tidak mau berbagi
keberuntungan dengan menghapus hutang kawannya menggambarkan umat manusia yang
tidak terdorong oleh belas kasihan dan tidak mau mengampuni kesalahan
sesamanya. Umat Allah yang hanya mau menerima dan tidak mau berbagi belas kasih
dan pengampunan Allah dengan mengampuni kesalahan sesamanya diingatkan bahwa di
akhir zaman penghakiman dan hukuman telah menunggunya. Maka, sebagaimana raja
itu kemudian menyerahkan hambanya ke algojo-algojo sampai lunas hutangnya,
demikian juga Allah akan menghakimi dan menghukum umat-Nya yang tidak
berpengampunan terhadap sesamanya itu pada akhir zaman. Oleh karena itu, di
akhir kisah Yesus mengatakan: “Bapa-Ku
yang di surga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu
masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.”
Keikhlasan
mengampuni kesalahan saudara menjadi titik tolak pengampunan dari Allah atas
dosa kesalahan umat-Nya. Yesus memakai kata “saudara” yang juga berarti
“sesama”, namun tekanannya lebih pada sesama dalam umat Allah. Petrus juga
bertanya tentang pengampunan terhadap “saudara”, yang berarti “sesama pengikut
Yesus”. Dengan demikian kesalahan dan pengampunan itu merujuk pada masalah
internal umat Allah, para pengikut Yesus sendiri. Namun pilihan Yesus yang
mengisahkan tokoh raja kafir untuk menggambarkan belas kasih dan pengampunan
Allah kiranya juga dapat dimaknai sebagai tantangan agar umat Allah berbelas
kasih dan mau mengampuni kesalahan orang dari luar kalangan umat Allah.
Ketidakmauan
mengampuni kesalahan sesama akan mendatangkan hukuman mengerikan di akhir zaman
nanti. Dengan akibat fatal yang nanti akan menimpanya itu diharapkan agar umat
Allah tergerak hatinya untuk terus-menerus berusaha mengampuni kesalahan
sesamanya.
Menjimpit
Pesan
Belas
kasih Allah yang begitu besar merujuk pada pengampunan Allah atas dosa-dosa
umat manusia melalui darah Yesus yang tertumpah di kayu salib. Jika Allah telah
berkenan mengampuni dosa kesalahan kita yang begitu besar, maka kita pun para
pengikut Yesus yang menjadi umat-Nya hendaknya berusaha terus-menerus untuk
mengampuni sesama yang mungkin tidak seberapa besar kesalahannya. Belas kasih
dan pengampunan Allah itu mestinya juga mendorong kita mau secara ikhlas saling
mengampuni sebagai saudara yang sering melakukan kesalahan satu sama lain.
Sikap
pengampun dan belas kasih itu perlu ditumbuhkembangkan karena Allah sudah lebih
dahulu berbelas kasih dan mengampuni dosa kesalahan kita. Dengan demikian
kiranya belas kasih dan pengampunan kita menjadi pancaran dari belas kasih dan
pengampunan Allah. Maka, sebagaimana Allah menawarkan terus-menerus belas kasih
dan pengampunan-Nya, demikian halnya belas kasih dan pengampunan kita harus
tanpa batas. Bukankah membatasi jumlah pengampunan itu sama saja dengan menunda
sementara pembalasan dendam? Bolehlah sampai tiga kali, tujuh kali, kita masih
ada maaf, tetapi itu ‘kan sama saja setelah tujuh kali ‘tak ada maaf lagi to…
Dengan pengampunan tanpa batas atau terus-menerus mengampuni, Yesus mau
menjauhkan kita dari kemungkinan balas dendam.
Mengucap Doa
Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin.
Allah
Bapa kami yang maha pengampun. Engkau telah mengampuni dan menebus dosa-dosa
kami lewat penumpahan darah Putera-Mu yang mati di kayu salib. Syukur atas
semuanya itu ya Tuhan. Bantu kami untuk selalu menyadari dan mengalami besarnya
pengampunan-Mu. Mampukan kami untuk berbagi pengampunan kepada sesama dan
menjauhkan diri dari niat balas dendam. Demi Kristus, Tuhan dan Pengantara
kami.
Demi
nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar